Kamis, 10 September 2009

PRAGMATISME KADER! SAMPAI KAPAN?



Menjadi aktivis kampus (mahasiswa yang beraktifitas positif di kampus) suatu kebanggaan tersendiri bagi sebagian mahasiswa yang berjiwa organisatoris. Karena aktivis kampus merupakan strata tertinggi dikalangan civitas akademika baik di kampus manapun. Pimpinan kampus maupun birokrasinya sudah barang tentu memandang positif, begitu juga dengan teman-teman yang lain para mahasiswa yang berorientasi kuliah , kuliah pulang- kuliah pulang, ataupun rumah-kuliah-nongkrong-dsb. Karena daalm persepsi mereka pejuang kampus adalah sosok mahasiswa yang serba terbiasa terutama dalam pengaturan waktu dan penguasaan emosi.


Tapi tidak jarang juga mereka yang antipati dengan yang namanya aktivis. Karena dalam kaca mata teman-teman sudah tertanam paradigma dengan fenomena mahasiswa abadi bagi kalangan aktivis. Itulah sebabnya timbul istilah mahasiswa gelar SA (Sarjana Abadi), suatu koloni yang terbentuk dari kontradiksi pergerakan mahasiswa, padahal pemikiran seperti itu adalah pemikiran kolot yang hanya melihat dari satu sisi suatu keputusan. Kenapa suatu keputusan, Karena menjadi siapapun dan mahasiswa apapun adalah suatu keputusan bukan suatu kebetulan atau ketentuan terlepas dari ranah religi.


Begitu juga dengan mahasiswa yang memutuskan untuk melibatkan diri dalam sebuah organisasi atau pergerakan. Perlu di track record niat mereka ketika keputusan untuk bergabung dengan komunitas “ orang- orang gila “ itu diambil. Jangan- jangan mereka hanya ingin disebut aktivis dan hanya NB alias numpang bokong disuatu pergerakan, mereka berpikiran bahwa akan banyak goal yang biasa dicapai ketika mahasiswa bertitel aktivis. Doktrinasi ideologi suatu pergerakan kurang tertanam di hati mereka sehingga banyak pergerakan atau organisasi yang kehilangan arah pergerakan karena rapuhnya idealis para kader, Inilah yang menjadi manifestasi kebobrokan organisasi yang tanpa disadari telah mengontaminasi kader- kader IMM (munkin lader-kader Pringsewu termasuk di dalamnya).


Kurang ketatnya penyeleksian perkaderan termasuk penyeleksian para bakal calon pimpinan menjadi penyokong utama adanya sikap pragmatis. Para kader merasa bahwa kalau tidak ada keuntungan secara langsung baik materi maupun immateri “ngapain capek-capek mengadakan kegiatan”. Atau sebagian yang beranggapan bahwa saya masuk organisasikan karena title “aktivis kampus” cukup membanggakan sehingga ketika sudah mendapatkan title tersebut janji yang telah diikrarkan sirna sudah. Kalau sudah begini paparanya, mau dibawa kemana arah pergerakan IMM.


Saya sendiri sangat berapresiasi kepada sebagaian kecil teman-teman yang masih loyal terhadap ikatan. Karena telah dengan sepenuh hati dan bermodalkan niat, kemauan dan loyalitas para kader-kader tersebut mau melanjutkan perjuangan dakwah IMM. Dilain sisi saya juga sangat kecewa karena ada juga kader yang secara kasat mata memang ikut andil dalam beberapa bentuk kegiatan, akan tetapi ketika dia diberikan amanah menjadi seorang pemimpin, kader tersebut lupa bahwa IMM itu milik bersama. Karena banyaknya godaan diapun terlena dengan keuntungan materi dan menyalahgunakan kekuasaan. Terpintaslah dalam hatinya untuk mencari keuntungan di IMM. Semua kebijakannya diambil sendiri tanpa mengindahkan saran dari teman-teman di level pimpinan yakni bawahannya.


Kalau sudah begini harus bagaimana dan sampai kapan? Butuh memang dibentuknya badan yang mengurusi tentang pelanggaran AD/ ART yang dilakukan oleh pimpinan IMM di semua level pimpinan. Karena yang saya tahu selama ini di IMM bahwa pelanggaran AD/ ART itu sudah terbiasa karena dengan alasan darurat. Kalau begini terus apa kata Mbah Dahlan dan Kanda Jasman Alkindi kalau mereka sekarang masih hidup? Sekali lagi saya tekankan sangat perlu dibentuk semacam badan kehormatan yang tentunya mereka yang mengurusi hal tersebut berada di luar pimpinan IMM. Semoga IMM Jaya….Makin Jaya…. Dan Selalu Jaya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar