Sabtu, 03 Oktober 2009

BARISAN MERAH

Malam buta suara jangkrik terus mengerik dalam lubang persembunyiannya. Semua serangga masih menikmati dugem malam yang menyenangkan. riuh dan sorak sorainya masih jelas terdengar di tengah tidurku yang telah terjaga oleh mimpi yang menyiksa. Beberapa kali mencoba memaksakan mata untuk tetap terpejam, namun kegelisahan seolah terus menggelitik pikiran.
Dengan segenap tenaga yang kuyu ku mencoba menegakkan badan, beranjak menuju air wudhu. Malam ini aku harus menghadap Sang Khalik yang mengatur umurku. Setidaknya aku harus memberi laporan akan planning yang akan aku kerjakan diesok pagi yang penuh duri dan siap menusuk langkah kaki.
Hembusan nafas panjang yang hangat keluar dari hidung seolah sedikit mengeluarkan sesak dan beban yang ada dalam dada. Teringat olehku, hari ini aku harus berorasi dan berkoar-koar memperjuangkan hak-hak yang hampir tak termiliki. Terlalu idealis memang, tapi aku sangat sadar, bahwa aku memang bukan bagian dari orang yang hanya ingin mencari aman dalam lubang perlindungan.
Tubuh kampus biru masih saja berwajah lugu. Tidak bisa sedikitpun ditampikkan bahwa dia telah menjadi saksi bisu segala taktik dan intrik yang akhir-akhir ini terus menukik. Tiada satupun orang yang mungkin menyangka kalau akan ada sekelompok barisan nekat pada hari ini. Perasaan ngeri dalam hati telah terhapus oleh ribuan keberanian, ratusan pertanyaan dan satu harapan.
Satu persatu kujumpai orang-orang yang berwajah berani namun penuh kegelisahan berkumpul membentuk barisan berwarna merah darah. Beberapa kali berpikir ternyata tidak ada hal yang bisa membuat barisan merah itu lebih layak untuk ditempatkan. Berbagai isu yang dihembuskan tidak bisa untuk terus dibiarkan.
“Hari ini kamu sudah makan Mon” pertanyaan ringan itu keluar dari bibir manis seorang kawan yang sudah sejak lama menangkap gelagatku. “jangan khawatir, supply suaraku tidak akan habis gara-gara aku tidak makan”. Kembali aku melihat senyum ragu keluar dari bibirnya.
Agak ngeri semua anggotaku memandang hari ini. Namun sedikit demi sedikit keyakinan mulai tertanam hingga semua benar-benar yakin akan langkah yang akan diambil. Sekitar dua puluh dari kami telah siap menyuarakan keluhan yang telah lama terpendam dan selama puluhan tahun terus mendekam. Ratusan pasang mata memandang langkah nekat barisan merah dengan ribuan tanda tanya. Tak sedikit dari mereka yang berbisik dan mencoba ingin tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Ada yang memberi dukungan tapi kebanyakan sengaja tak ingin mengetahui persoalan.
Beberapa orator telah dipersiapkan, yang lain cukup memegang atribut berisi tuntututan. Saat itu semua rekanku masih sibuk mengkondisikan mental untuk terjun kelapangan. Ada yang cepat mengkondisikan diri namun tidak sedikit yang masih grogi. Kusambar saja toak kecil dan tangan rekanku dan ledakan hebat keluar dari mulutku. Gedung tinggi kampus biru kini telah berpagar manusia, sebagian dari mereka cukup melihat aksi kami dari ketinggian. Beberapa karyawan melihat kami dengan cengingisan, mungkin baginya ini adalah baris ingusan. Setelah cukup lama berkoar-koar, akhirnya tiba giliran orator lain untuk menyuarakan. Emosi yang tinggi saat aku berorasi ternyata membuatku tidak begitu mengamati kondisi barisan yang sudah mulai acak-acakkan. Ternyata diantar kami ada yang mundur teratur. Dan tidak ada waktu bagiku untuk berpikir macam-macam. Yang terlintas dalam pikiranku saat itu adalah terus memompa dan meamksimalkan barisan yang hanya tinggal 15 orang.
Sampai Azan ashar menyapa sedikitpun tak kujumpai orang-orang yang harus bertanggung jawab menjawab segala pertanyaan. Beberapa diantara kami langsung membubarkan diri. Ada yang langsung menuju masjid, dan adapula yang langsung menuju markas untuk menyusun strategi.
“Hari ini aksi kita cukupkan”
“Apa tidak sebaiknya kita lanjutkan setelah ashar”
“Sebaiknya tidak, karena kondisi teman-teman tidak memungkinkan dan tidak semuanya bisa menjadi orator di lapangan”
“Yakin tuntutan kita akan terjawab dengan aksi yang berjalan kurang dari dua jam?”
“Tetap yakin dan terus berdoa”
Kondisi yang sudah tidak kondusif saat itu sempat memaksa beberapa tenaga pengajar untuk tidak melanjutkan kuliah. Orang-orang yang sangat kami tunggu kehadirannya untuk memberi klarifikasi satu persatu memunculkan diri. Besar kemungkinan dari mereka akan berkumpul untuk berdiskusi, mungkin menyusun konsep pembelaan diri. Dan mengenai hal itu aku tidak terlalu ambil peduli, yang terpenting bagiku dan rekanku adalah duduk bersama dalam suatu usaha pemecahan masalah dan melancarkan komunikasi yang akhir-akhir ini sempat tersumbat.
Detik menit berlalu, hari pun kini telah berganti. Kubuka jendela kamarku perlahan, dan sinar mentari menyambutku dengan pesona kemegahan yang mengagumkan. Hari ini Sang Khalik masih mempercayakan umur kepadaku. Sejenak pandanganku tertuju pada handphone yang terletak di atas meja. Kuperiksa untuk memastikan apakah adapesan yang menanti untuk di baca

“Ass. Smg semngt perjuangn senntiasa berkobr dlm hati. Pkl.13.30 hr ni hrp hadir pd pertemuan klarifikasi lembaga pd mahasiswa. Siapkan diri menjadi saksi perubahan. Bulatkan tekat untuk satu 7an.

Senyum simpul sempit mengembang di bibirku. Entah puas atau ragu, cemas dan takut sesegera mungkin terusir oleh keberanian yang muncul secara nekat. Kutanakan dalam lubuk hatiku yang terdalam, bahwa kiamat tidak akan terjadi pada hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar