Sabtu, 03 Oktober 2009

SURATMI
Sunyi sepinya kamar dengan cahaya sinar lentera yang remang-remang semakin menambah kesempurnaan persembunyian hati seorang wanita yang tengah asyik merenungi diri dibalik kelambu merah jambu malam itu. Dipeluk olehnya bantal guling yang menjadi teman setia dalam tidurnya. Sesekali dipeluknya erat-erat namun tidak jarang bila ia merasakan bosan, dengan sesuka hatinya ia melempar, menendang dan mencampakkannya. Beberapa kali berganti gaya tidur tak mampu membantu matanya agar segera terpejam. Tak beberapa lama ditengah kegelisahan tidurnya itu, seketika pandangannya tertuju pada bantal guling yang beberapa waktu lalu ia lemparkan kelantai. Terkulai lemah dan kusut serta tak berdaya menerima penyiksaan darinya. Mungkin itu adalah gambaran yang sangat tepat terhadap apa yang tengah di rasakan guling itu. Sekejap waktu, otaknya berputar cepat. Betapa tidak, ia merasakan kehidupannya beberapa tahun ini tak ubahnya seperti bantal guling itu. Disayang-sayang ketika dibutuhkan, namun dicampakkan ketika merasa bosan. Perlakuan seperti itu terasa ia alami saat ia menjalani kehidupan rumah tangga bersama Herwoko. Dengan cepat diambilnya bantal guling itu dengan kedua tangannya, dan langsung ia peluk erat, di ciumnya, dan dicumbunya seperti tanpa kesadaran, air matanya menetes hatinya menangis merasakan luka yang mendalam.
Setelah ditinggalkan oleh suaminya beberapa tahun yang lalu, hidup perempuan itu seperti kapas yang terombang ambing oleh tiupan angin. Tanpa arah tujuan dan kepastian itulah yang ia rasakan. Wajah perempuan manis itupun seperti tertutupi oleh awan mendung yang gelap, begitu sulit tertembus oleh mata.
Suratmi nama panggilan perempuan yang sudah berstatus janda itu. Rambutnya hitam panjang, kulitnya hitam manis, namun hatinya hitam gelap dan sunyi. Terkadang sesekali dia bertanya pada takdir dan keadaan yang tidak bersahabat dengannya. Kalau saja perkawinanya dengan Herwoko selama lima tahun dapat membuahkan momongan, mungkin kesendirian yang menyiksanya tidak akan pernah ia alami. Janji-janji yang keluar dari mulut mantan suaminya itu hanyalah pemanis bibir belaka, di atas tangisnya kini mantan suaminya itu telah beristri dengan wanita lain yang mungkin bisa memberinya anak. Ternyata lima tahun menjalin hubungan suami istri tidak cukup bisa membuktikan rasa cinta Herwoko pada bualan manis yang datang dari mulutnya ketika saat-saat indah menjalin kasih dengan Suratmi.
Perasaan pesimis selalu berkecamuk dalam hati Suratmi ditengah ketidak yakinannya untuk memperoleh kebahagiaan. Sebagai seorang perempuan dia sudah tidak merasakan kesempurnaan selayaknya seorang wanita. Ketidak mampuannya untuk bisa memberikan keturunan bagi laki-laki merupakan beban yang amat berat bahkan lebih berat dari pada hidup dalam kemiskinan yang selama ini melilitnya. Di satu sisi, hatinya selalu berteriak membrontak, apakah selamanya ayahnya yang hanya seorang petani miskin harus menanggung beban hidupnya. Mukanya semakin kusut saja memikirkan masalahnya itu.
***
Ditengah keheningan sebuah kamar terdengar suara kokok ayam jantan yang merdu mengalun memecahkan kesunyian malam-malam yang sangat berat bagi Suratmi. Segera saja dia beranjak dari tempat tidurnya, dengan bantuan sinar redup dari dimar ia mencoba mempersiapkan perbekalan yang akan dia bawa saat ia berdagang di pasar. Tidak selamanya ia akan larut dalam keterpurukan yang akan semakin melemparkan jiwanya dalam palung penderitaan yang berkepanjangan. Seberapapun keterbatasan yang melekat pada dirinya, ia mencoba untuk tetap bertahan dan terus melangkah. Saat ini berdagang adalah salah satu pilihan yang tepat baginya untuk bisa mempertahankan hidupnya bersama orang tua semata wayangnya.
Seperti biasanya untuk dapat menuju kepasar suratmi harus menunggu mobil grobak yang akan membawa serombongan orang-orang kampung yang hendak kepasar. Ada pula kebanyakan dari mereka lebih memilih menggunakan sepeda. Adapun kendaraan bermotor masih sangat jarang, mungkin hanya satu dua orang yang punya, itu pun bisa dimiliki setelah menjual beberapa ekor hewan ternak mereka. Agak lama memang janda manis itu menunggu, setidaknya kalaupun mobil yang mengangkut orang-orang kampung sudah lewat, dia berharap akan bisa mendapatkan tumpangan yang bisa membawanya hingga sampai ke pasar. Di tengah harapannya untuk segera sampai ke pasar, dari kejauhan terdengar suara bising yang datang dari kendaraan bermotor. Dari kejauhan suratmi memandang motor itu penuh harap, benar saja, dari kejauhan nampak pengandara itu sendirian. Semakin lama wajah laki-laki itu nampak dekat, dari samar-samar hingga agak jelas terlihat. Seketika matanya menerawang masa lalu bersama wajah itu. Ketika suratmi menginjak usia belia, pemilik wajah itulah yang senantiasa menemaninya, walau hanya sekedar jalan bersama sepulang dari masjid. Kebersamaan yang terjalin itu tak lama membuahkan perasaan cinta yang datang dari dua perasaan yang sama-sama perawan. Baru setelah menjalin hubungan kasih selama beberapa waktu, tanpa alasan kedua orang tuanya mengirimnya kekota. Selama dia berada di kota dan meninggalkan desa, maka selama itu pula pria itu seperti hilang di telan angin, tanpa kabar berita barang sedikitpun. Entah apa yang membuat wajah itu kembali datang dan menjelma secara nyata di desa itu dan di kehidupan suratmi.

“Mau ke pasar Mbak?” pertanyaan itu berhasil membuyarkan pikiran Suratmi akan masa lalunya itu. Suara itu sungguh terdengar merdu dan tak asing ditelinga Suratmi. Di pandangnya dengan sungguh lelaki yang menawarinya tumpangan itu.
“Mas Sugi ya?, kamu Mas Sugi kan?” Suratmi mengulangi pertanyaannya seakan tak percaya pada takdir yang membawanya kembali lagi pada kekasih lamanya itu.
“Aku tak menyangka, sekian lama tak bertemu kau masih dengan sempurna mengingatku. Bagaimana kabarmu Ratmi?” sambil sugi mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan. Di sambut nya oleh Suratmi dengan sedikit rasa keraguan. Ia masih tak percaya akan kejadian pada pagi itu.
“Baik Mas.”
Sebenarnya agak ragu Suratmi menjawab dengan kata “Baik” karena toh kenyataannya fisiknya memang masih terlihat utuh, namun hatinya hancur lebur, pengalamannya dengan laki-laki pertama pada dunia percintannya kandas lantaran di tinggal pergi begitu saja tanpa kabar berita, setelah beberapa tahun menanti menanti kabar yang tak kunjung datang darinya, Suratmi pun akhirnya menyerah. Dicobanya sekuat tenaga untuk membuka hatinya kepada pria lain. Herwoko adalah laki-laki yang serius ingin mengajak Suratmi menuju jalan ke pernikahan. Setelah lima tahun menjalani pernikahan, Herwoko pun meninggalnya lantaran tak sabar menanti kedatangan buah hati yang belum juga diamanahkan oleh Tuhan kepadanya. Kini roda waktu telah berbalik arah. Suratmi seakan-akan dikembalikan pada masa lalunya itu.
“Ayo cepat naik, nanti pasar keburu bubar”
Perkataan itu spontan membuyarkan pikiran suratmi yang sudah jauh-jauh berpikir dan merenungi nasipnya yang belum juga bertemu dengan bahagia.
“Oh, iya Mas”
Hanya dengan jarak lima kilo meter perjalanan menuju kepasar membuat kedua insan itu tak punya waktu lama untuk mengobrol dan membicarakan tentang kehidupannya masing-masing. Sebenarnya apabila ada jalan lain menuju pasar yang lebih jauh, mungkin akan mereka ambil agar lebih banyak waktu bagi keduanya melepas kerinduan yang terpendam.
***
Sudah dua bulan Sugi menemani hari-hari suratmi, walaupun hanya sebatas ketika ingin pergi kepasar saja. Namun dari obrolan singkat di setiap pertemuannya dengan Sugi, Suratmi pun sedikit mengetahui akan kehidupan Sugi ketika berada di kota. Betapa kekasih lamanya itu juga harus mengalami situasi sulit karena harus membesarkan kedua anaknya tanpa bantuan seorang istri. Beberapa bulan yang lalu istri Sugi meninggal dunia setelah melahirkan anaknya yang kedua. Kejadian itu sangatlah berat bagi Sugi sehingga memaksanya untuk menitipkan perawatan anaknya kepada ayah ibunya di kampung. Sebaliknya, Sugi juga telah banyak tahu dengan kondisi yang dialami oleh Suratmi. Ia juga merasa iba pada penderitaan yang di alami oleh perempuan manis itu. Tidak hanya dia yang menorehkan luka kekecewaan di hatinya, tetapi juga lelaki lain. Sungguh pada keadaan ini lelaki itu cukup banyak merasa bersalah.
Suratmi terlihat sedang duduk termenung sambil menggerakkan kedua tangan mencabuti rumput disela-sela tanaman kebunnya. Tak henti-hentinya dia berpikir akan kisah-kasihnya dengan Sugi. Mungkinkah Sugi datang ke dalam kehidupannya sebagai jawaban atas segala doa yang selama ini dia mohonkan kepada Tuhan. Sungguh sulit perempuan itu berpikir kalau kedatangan Sugi kembali kedesa itu hanya sekedar kebetulan yang tidak disengaja. Terlebih saat ini keduanya dalam status yang sama-sama sendiri. Dalam hati dia menginginkan kalau pertemuanya dengan Sugi adalah jalan baginya untuk melanjutkan kisahnya yang sempat putus di tengah jalan.
“Lagi ngelamun ya Mbak” suara gadis belia yang datang dari arah belakang cukup mengagetkan Suratmi.
“eh.., Dek Nur. Bikin kaget Mbak aja?
“Mbak lagi ngelamunin apa sih…?
“Ah, Ngak, ini lho, Mbak lagi sibuk nyabutin rumput biar tanaman terongnya tumbuh Subur.
“ Ah, bohong, pasti lagi ngelamnunin Pak lek Sugi” Suratmi tidak menyangka kalau gadis belia di depannya itu mampu membaca pikiran yang tengah bergelut di kepala suratmi.
“ Enggak. Eh, ngomomg-ngomong, ada apa kamu kesini?”
“Ini lho Mbak, Nur cuma ingin menyampaikan Surat dari Pak lek Sugi.
Untuk kedua kalinya Suratmi dikagetkan oleh gadis belia itu. Suratmi mencoba untuk menjaga gelagatnya ketika mendengar bahwa Sugi mengirimkan Surat kepadanya, walaupun sebenarnya ia sudah tak sabar lagi ingin membacanya. Ia tidak ingin kalau gadis itu menagkap sikap yang aneh pada diri Suratmi.
Setelah Nur berpamit, Suratmi pun mulai memberanikan membuka surat itu secara perlahan.

Harjosari, 02 Februari 1995

Untuk Suratmi

Salam
Sebelumnya aku minta maaf kepadamu Rat, karena aku hanya sempat mengirimkan sepucuk surat ini kepadamu. Hari ini aku akan pulang ke Jakarta. mungkin selama beberapa minggu aku akan ada disana untuk mengurus kepindahanku kembali kedesa. Banyak hal yang telah aku pikirkan semenjak pertemuan pertama kita di jalan. Satu hal yang aku pahami darimu, kamu masih sama seperti Ratmi yang aku kenal belasan tahun yang lalu. Yang masih bisa tersenyum dan begitu pandai menutupi kesedihan. di hadapan orang lain.
Rat, aku sadar penuh kalau roda waktu telah mengantarkan kita pada jalan kehidupan yang berbeda, walaupun pada akhirnya kita dipertemukan pada sebuah nasip yang sama. Jujur saja aku sangat sulit berpikir kalau pertemuanku padamu itu hanya kebetulan saja.. akhir-akhir ini aku berpikir kalau apa yang terjadi pada kita adalah bagian dari rencana Tuhan untuk mempersatukan kita kembali. Terserah apa pemikiranmu tentang hal ini, yang jelas tidak bisa ditampikkan kalau kita sama-sama masih memiliki kenangan memilukan dengan pasangan kita masing-masing namun kita juga tidak ingin terus terpuruk pada keadaan yang akan menenggelamkan kita pada kesepian yang nyata.
Saat ini anakku sangat memerlukan sentuhan seorang ibu yang bisa merawat, mensisiknya dan memberikan kasih sayang serta perhatian. Dan sebagai seorang ayah, aku hanya ingin memilihkan untuk mereka seorang ibu yang memiliki sentuhan tangan yang lembut dan ikhlas sepertimu Rat. Melalui goresan tinta yang datang dari lubuk hatiku yang terdalam, aku ingin bertanya kepadamu Rat, Maukah engkau menjadi ibu dari anak-anakku?

Salam Harap
Dari kasih lamamu


Sugiarto

Air mata Suratmi seketika menetes membasahi pipinya. Ia seakan tak percaya dengan apa yang tengah di alaminya. Dulu keadaan yang memisahkan hubungannya dengan Sugi, dan saat itu pula keadaan yang mempertemukan kembali hubungan tali kasihnya dengan Sugi yang telah terputus oleh waktu. Mungkin ini adalah jalan yang memang sudah disediakan takdir oleh Suratmi. Hidup dengan seorang pria yang pernah mengisi ruang hatinya semasa belia. Sesuatu yang kurang dalam diri Suratmi pun tidak lama lagi akan terasa lebih lengkap dengan kehadiran anak dari buah perkawinan Mas Sugi dengan almarhum istrinya. Walaupun tidak datang dari rahimnya sendiri, Suratmi yakin kalau kasih sayang seorang anak akan ia dapatkan bersama dengan kasih sayang orang yang sangat ia cintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar